Rekan Baru, Mahasiswa Baru: Semangat Baru



Tanggal 10 November 2018 menjadi hari yang akan terlupakan bagi saya. Saya berkata demikian karena saya ingat saya pernah menuliskan suatu momen dengan format (tanggal tt bulan bb tahun tt akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya) namun pada akhirnya saya pun lupa. Maka dari itu saya katakan saya akan lupa dengan tanggal tersebut.

Teater Kami Bercerita, teaternya anak-anak Sastra Indonesia UGM yang kini bertransformasi menjadi Bahasa dan Sastra Indonesia, menyuguhkan pementasan dengan naskah Dalam Bayangan Tuhan karya Arifin C Noer. Sudah menjadi kegiatan rutin tahunan teater KB yang berjargon ‘dua anak nambah’ ini tampil sebagai puncak acara Bulan Bahasa UGM, tapi kali ini berbeda. Tidak seperti biasanya saya yang mengambil bagian pemusik, pada pementasan tersebut saya mencoba berpindah haluan ke posisi yang lebih visual, yakni penata artistik.

Tim artistik KB (singkatan untuk teater Kami Bercerita) sebenarnya terbagi atas tiga, eh, empat cabang, yakni tata rias, tata kostum, tata panggung, dan tata cahaya.  Yang nyari tata halilintar gak ada ya, sory. Nah, semua itu dikomando oleh seorang pria bernama Yosef Astono, salah satu teman dekat saya ketika kami sedang pada jarak 54 cm. Kebetulan karena memang betul, saya dan Yoas (panggilan akrabnya Yosef) masuk dalam tata panggung dan tata cahaya, dua bidang yang tidak pernah saya ikuti sebelumnya.

Tim tata panggung terdiri atas lima mahasiswa baru ditambah saya dan Yoas (ditambah Adit, S.S.). Kelima orang itu adalah Adam, Ludvi, Radevi, Taqi, dan Juwita. Sebenarnya saya tidak terlalu dekat dengan mereka namun lama-lama kok kangen juga sama mereka. Kenapa?

Pekerjaan tim tata panggung tidaklah mudah. Kami harus menghadirkan beraneka ragam benda-benda, baik masuk atau tak masuk di akal, seperti puluhan topeng dari bubur kertas, puluhan lampion gantung, dan puluhan senter, dengan budget yang seminimal mungkin. Pengorbanan-pengorbanan seperti blender rusak, beli 57 senter yang nyala hanya 21, dan rangka lampion yang mleyot-mleyot tertekan oleh ruang dan waktu dibayar lunas oleh suguhan keindahan panggung di saat pentas.

Ketika melihat lampion menyala di atas panggung:

Sebenarnya saya tidak terlalu dekat dengan mereka namun lama-lama kok kangen juga sama mereka. Kenapa?  Karena, mereka adalah orang paling semangat di dunia setelah yang lainnya. Ya iyalah. Seperti tak kenal lelah, semangat mereka sangat stabil dan yang lebih baik stabilnya di level atas. Selain melihat orang makan dan orang tidur, itu adalah hal yang membuat hati saya terenyuh. Maka dari itu, tulisan singkat sekali ini saya persembahkan kepada lima adik saya tersebut.

Ludvi, seorang berkebangsaan Sagan, dengan postur gempal dan kokoh, saya kenal sebagai seorang yang ulet karena urusan transportasi bambu, entah itu bambu batangan jumbo atau bambu ukuran junior, dia yang mengurusnya. Awalnya saya kira dia pendiam, ternyata dia pendiam kalau lagi diam saja. Setelah dia gak diam, dia gak pendiam kok. Gitu.

Adam, dengan postur tubuh sebelas dua belas dengan Ludvi, tak kenal lelah angkut sana angkut sini, potong sana potong sini, ngecat sana ngecat sini. Meski terbilang cukup cerewet untuk seorang lelaki, tapi saya sadar setiap orang punya sifat masing-masing. Jadi, gak apa-apa, Dam. Gua maklumin elu.

Radevi, sebagai koordinator tata panggung, sangat ulet dalam menjadi kepompong lalu kupu-kupu. Eh salah. Sangat ulet menggambar sketsa barang yang akan dicipta, merobek-robek wacana-wacana dalam koran menjadi cuilan-cuilan suku kata, dan yang lainnya, dan yang lainnya. Dia orangnya cukup tidak banyak bicara, hanya sesekali tertawa kecil dengan suara berat dengan lirik ‘hehehe’, literally ‘hehehe’.

Taqi Genji, berbeda dengan Radevi yang kalem, dia adalah yang paling cerewet. Jika sedang on fire dan semangatnya sedang dalam titik tertinggi, dalam satu menit dia bisa menghasilkan 345 kata dari organ wicaranya. Si Genji ini memiliki dua mode, yakni mode tertutup dan mode terbuka. Ketika temperatur sedang tidak bersahabat, dia akan masuk ke mode terbuka yang awalnya saya hampir tidak mengenalinya karena biasanya dia masuk mode tertutup. Namanya orang juga beda-beda, kalau sama mah pasangannya papa.

Juwita, kalau si Genji yang paling cerewet, Juwita adalah yang paling semangat. Dia selalu haus akan pekerjaan. Pengen beli cat lah, pengen merangkai lampu lah, pengen manjat pohon lah, dan lah lah yang lain. Lah. Dia yang bertugas membentuk papan sterofoam putih menjadi benda-benda raksasa seperti kamera, pena, perekam suara, dan mikrofon tanpa pelunas hutang.

Di akhir pentas ketika saya hendak memberikan ucapan selamat ke mereka, mereka ternyata memeluk saya duluan dan saat itu juga air mata saya mau keluar. Seketika saya langsung lari ke kamar mandi, mengguyurkan air ke muka supaya saya tidak terlihat sedang mengeluarkan air mata. Wesyeh. Terima kasih adik-adikku. Karena semangat kalian, saya jadi ikut bersemangat merampungkan skripsi dan merasa 24 tahun lebih muda. Iya, terasa banget seperti ketika saya masih menjadi zigot.

Saya tersenyum tampan karena senyum membuat saya lebih tampan.

Gambar nyusul ya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Histeris Menguras Hati

Optimis vs Pesimis

(BAHASASTRA) Gue? Aku? Saya?