Keluarga Pemain Mentari Terbenam di Balik Tilam

16 Mei 2017 bukanlah hari yang biasa. Hari itu adalah hari spesial karena ada malam puncak etnika fest, sebuah acara dua tahunan FIB UGM dengan tema Zaman Edan. Puncak acara tersebut adalah pementasan teater berjudul Mentari Terbenam di Balik Tilam yang disutradarai oleh Muhammad Lutfi Dwi Kurniawan. Sebagai salah satu pemain di pementasan tersebut, saya ingin sedikit menceritakan kesan saya terhadap pemain lainnya yang menjadi rekan proses saya selama tiga bulan. Dari tidak kenal menjadi teman kental. Dari orang asing menjadi orang asik. Dari dulu aku sendiri. Halah.

Terlepas dari tragedi benda raksasa melayang di jalanan seperti dalam permainan PS1 Pepsiman, saya pikir hari itu cukup baik. Yah, hanya sedikit lecet bersarang pada tubuh ini. Untung saya masih bisa pentas. Ya, pagi hari sebelum pentas saya mendapat sebuah kecelakaan kecil di jalan raya. Barang cukup besar yang terbuat dari triplek yang dibawa mobil di depan saya tiba-tiba melayang dan hampir saya tabrak. Rasanya jika anda tahu, benar-benar seperti bermain game Pepsiman, kita berlari menghindari benda-benda di depan. Sayangnya, saya hanya manusia biasa, bukan pepsiman. Saya bisa saja menghindar ke kanan atau kiri saat itu, mengingat waktu itu saya sedang dalam kecepatan 70km/jam. Tapi yang menjadi ketakutan adalah jika saya banting stang ke kiri atau ke kanan, saya bisa menabrak pengendara lain mengingat saya tidak sempat melihat adakah pengendara di belakang saya.

Akhirnya dengan cepat saya memutuskan mengerem saja. Yah, untungnya hanya saya dan motor saya yang jatuh karena rem depan saya lebih kuat daripada rem belakang. Satu hal yang pertama terlintas di pikiran saya adalah “kaki saya bisa gerak gak nih?” disusul pertanyaan “Pentas nanti gimana?” lalu disusul “Jodoh kamu lagi di mana?” Aduh... pusing sekali rasanya. Setelah beberapa detik melamun, akhirnya saya tersadar dan dibantu seseorang berdiri. Motor aman, badan juga aman. Aman berarti. Lanjut.

Ada 22 pemain di pementasan ini, imbang 11 pria dan 11 pasangannya. Siapa saja mereka dan bagaimana kesan saya terhadap mereka?

Pertama adalah Aric. Berperan sebagai Duhsa, seorang warga kampung jahat yang sebenarnya tidak jahat-jahat amat. Pertama saya melihatnya, dia orangnya cukup asik diajak bercanda. Oh iya, dia memiliki kemampuan lain dari yang lain, yakni kemampuan taekwondo. Jangan main-main dengan dia sebab dia memiliki jurus yang mematikan. Salah dua jurus mematikannya adalah “starter” dan “rasa sakit seribu tahun”. Pemain selanjutnya adalah Gustu. Berperan sebagai Reksa, rival dari Duhsa. Bisa dikatakan dia masih satu ordo dengan Aric karena berasal dari jurusan dan angkatan yang sama, bahkan daerah asalnya juga sama, bahkan lagi mereka selalu bersama-sama. Yang membedakannya adalah jika tadi jago taekwondo, yang satu ini jagonya karate. Salah satu jurus andalannya adalah “Senyuman Mematikan”. Acikidaw.

Next, Yon. Berperan sebagi penjaga perbatasan, Jagabaya. Nama lengkap tidak diketahui. Terakhir kali melihat nama lengkapnya (lebih tepatnya nama panjang), hanya sebuah rentetan huruf kapital yang kepanjangannya hanya Tuhan, petugas yang mengurusi akta, dan orang-orang yang tahu saja yang tahu. Kesan pertama saya kepada dia adalah saya kira dia orangnya pendiam. Namun, setelah sang waktu berbicara, ternyata benar. Dari sekian banyak pemain pria, dia adalah orang yang paling sering menjadi stunman atau pemain pengganti jika ada pemain lain yang berhalangan hadir. Jadi bisa saya katakan, dia adalah “Yon the Stunman”. Dan nilai plus yang saya lihat dari dia adalah hampir selalu datang paling awal. Good job, Son. Selanjutnya adalah Resqi. Berperan sebagai warga yang kehilangan ayam. Jago silat, tapi juga jago pijat. Pokoknya setiap ada yang terkilir, kecapekan, atau sekadar pengen dipijit, dia yang jadi pawangnya. Salah satu jargon andalannya yang saya sendiri tidak tahu maknanya adalah “acikiwir”. Mungkin sejenis “prikitiew” dan “asolele”
        
         Selanjutnya adalah trio adik tingkat jurusan saya, yaitu Al, Fian, dan Danang. Berperan sebagai warga yang kehilangan kambing, warga kampung jahat, dan Pak Carik. Karena mereka adik tingkat, ya saya menganggap mereka sebagai adik sendiri, kecuali Danang yang jika dilihat sepertinya lebih tua dari saya. Dari ketiganya yang paling dekat dengan saya adalah dia karena di pementasan dia adalah sohib saya. Jadi, agar di panggung ada chemistry-nya, di luar panggung juga harus akrab. Kesan terhadap Al tidak terlalu banyak. Normal-normal saja. Hanya saja beberapa hari menjelang pentas, saya sering melihat dia tiba-tiba rol depan dan mengenai orang lain. Itu saja. Untuk Fian, karena sudah lama kenal ya tidak terlalu meninggalkan kesan di proses pementasan ini. Paling, dia adalah pemain yang paling sering mendapat asupan kata “goblok” dari sutradara. Tapi bagi saya goblok itu tidak ada selama seseorang ingin selalu belajar. Wesyeh.
   
       Selanjutnya, Dayat. Berperan sebagai bos preman kampung jahat, Salah satu teman sepertjuangan saya di kuliah sejak maba. Jika dihitung sudah tiga tahun saya kenal dia. Penggemar NDX dan lagu sejenisnya. Mendapat predikat pemain paling rileks. Cukup.

Dari kubu duo sastra Arab, ada Riga dan Lupek yang berperan menjadi bandar judi dan Pak Lurah. Keduanya memiliki bakat menyanyi dan sedikit komedi. Untuk tingkat celetukannya, mereka saya beri nilai 8,7 dari 10. Hanya saja, yang disayangkan, celetukan mereka kurang dikeluarkan di atas panggung. Oh iya, salah satu moto hidup Lupek adalah “Sing Penting Ngece” atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh para ahli penerjemahan menjadi “Yang Penting Menghina”. Memang sih, dari semua pemain, yang mulutnya sering tidak terkontrol adalah dia.

Beralih ke pemain dari kaum hawa, ada Sanya, Anggun, dan Ank yang berperan sebagai trio pelacur. Eits, jangan salah. Meski pelacur begitu, ketiganya memiliki bakat yang indah, yaitu menari. Sanya teman satu angkatan dan jurusan, jadi sudah tidak asing lah. Nah, Anggun dan Ank ini. Namanya sih Anggun, tapi jika melihat orangnya saya langsung mendapat kesan “liar”. Tapi orangnya asik kok. Ank, memang memiliki nama yang berhomofon dengan salah satu tokoh pengendali angin. Namun dia bukanlah pengendali angin, hanya saja dia bisa mengendalikan tubuh untuk menari jaipong dan mengendalikan jari untuk bermain piano. Sayang, dia kurang cukup bisa mengendalikan jumlah snapgramnya.

Lanjut ke duo kembar, Phadma dan Shantica. Awal melihat mereka berdua, saya seperti melihat kertas A4 dibelah jadi A5. Saya pikir mereka kembar. Namun, orang-orang mengatakan mereka kakak beradik. Yang benar yang mana? Yang jelas saya tetap teguh pendirian untuk mengatakan bahwa mereka kembar. Keduanya orangnya baik, mau menemani pacar saya selama dua hari di saat pacar saya butuh tempat berteduh.
        
       Lanjut. Mona. Bosnya para pelacur. Dari semua pemain, dia adalah pemain yang paling senior, satu-satunya dari angkatan 2013. Selalu bersaing dengan Yon dalam urusan cepet-cepetan datang latihan. Satu nilai plus, sebagai senior, dia memberi contoh untuk datang tepat waktu kepada adik-adiknya. Untuk peran yang dimainkan, awalnya kurang greget dan kurang galak. Namun setelah mendapat terapi dari Lupek, akhirnya dia menemukan performa terbaiknya.

Selanjutnya, duo warga kampung baik yang diperankan oleh Dwi dan Laila. Berperan sebagai sahabat Mirah. Si Dwi ini memiliki satu jurus rahasia yang hanya dia lakukan di pementasan dan latihan, yaitu “Jeritan High Pitch” yang membuat kaca-kaca gedung pencakar langit, gunung gamping, dan handphone bergetar meski tidak ada panggilan. Laila, memiliki dialog yang khas di pementasan, yakni “Tak Tahukah Kau...” dengan nada yang mungkin semua pemain hafal betul.

Tokoh lain adalah Shabia. Berperan sebagai Bu Lurah. Awal melihatnya yang terlintas dalam pikiran saya “dia orang sombong. Fix. Dia sombong.” mengingat bagaimana air muka, tatapan mata, postur berdiri, dan cara bicaranya. Lagi-lagi saya ucapkan terima kasih kepada sang waktu yang menyadarkan saya kalau saya salah. Dia orangnya baik kok. Btw, dia memiliki kemampuan membaca kartu tarot dan breakdance. Salah satu teman main panggung saya yang sudah merelakan pundaknya demi lancarnya pementasan.

The next one, Silvi, berperan sebagai warga yang kehilangan anak satu-satunya. Yang paling khas dari dia adalah suaranya yang serak-serak basah. Wah, pokoknya kalau denger suaranya itu dah, rasanya pengen... ah sudahlah. Orangnya supel, dan paling sering bicara saat diskusi ataupun saat....latihan.
   
         Terakhir nih. Neng Lilis. Berperan sebagai Mirah. Tokoh utama dalam certia yang menurut saya, dia adalah sumber masalah dalam cerita tersebut. Satu angkatan dengan saya. Banyak orang berkata ngomongnya seperti baca puisi karena memang selain jago membuat puisi, dia juga jago membacanya. Yah kesan saya terhadap dia, asyik tapi kadang nakutin. Udah.


            Jadi itulah sedikit hal yang ada dalam benak saya yang jika tidak saya tulis mungkin hanya akan menjadi kegelisahan di pikiran saya sedangkan pikiran saya masih memiliki banyak hal yang harus dipikirkan seperti KKN, skripsi, kerja, jodoh, anak, dan shirotol mustaqim. Harapan saya, kami tetap selalu menjadi keluarga. Kenangan dan rindu pasti ada, namun masa depan di depan mata. Akhir kata, sekian dan terima kasih.

warga kampung jahat on fire mau perang

reksa vs mirah

beberapa pemain pascapentas

yah begitulah

reksa-bu lurah-suaminya-kyai-pak carik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Histeris Menguras Hati

Optimis vs Pesimis

(BAHASASTRA) Gue? Aku? Saya?