Malaikat Jalanan
Setelah lama sekali blog ini didiamkan hingga sarang laba-laba mulai menempeli sudut kamar saya, akhirnya saya diberi kesempatan untuk menulis lagi.
Beberapa malam yang lalu, kira-kira tiga puluh malam yang lalu, beberapa jam sebelum saya mengakhiri hari itu, saya mendapat kejadian yang mungkin tidak biasa. Motor saya yang awalnya aman-aman saja tiba-tiba mogok jalan tapi tidak sambil bawa papan, bahasa asiknya blebet. Jadi fenomena itu adalah ketika motor bisa nyala, tetapi saat digas eh mati. Lucu kan ya. Karena waktu itu malam sudah hampir larut, saya mengalami kesulitan mencari bengkel yang masih buka (yang kata orang mungkin sudah tidak ada yang buka). Tanpa putus asa terlebih dahulu, saya mencoba mendorong motor saya mencari siapa tahu ada secercah cahaya dari sebuah lampu bengkel yang masih buka. Namun, setelah menuntun motor kira-kira satu kilometer saya belum menemui apa-apa.
Di saat peluh mulai menetes dari dahi saya, seorang mbak-mbak berhenti sejenak dan memberi tahu di mana lokasi penjual bensin. Saya iyain saja karena saya cari bengkel, bukan cari bensin. Kalau ngomong gitu takutnya mbaknya tersinggung. Ya udah mbaknya langsung pergi.
Motor saya mulai mendapat tuntunan lagi dari saya. Entah apa yang terjadi, seorang mas-mas berboncengan dengan wanita yang saya duga adalah pacarnya menawarkan diri untuk mendorong motor saya. Sebenarnya saya agak tidak suka melihat kemesraan mereka. Tetapi, demi kelangsungan hidup saya, sejenak saya singkirkan rasa khas orang jomblo itu. Bagaimanapun juga, saya masih sayang dengan kaki, tangan, dan badan saya.
Dari daerah Gejayan, saya didorong oleh mas-mas itu, mencari bengkel, siapa tahu ada yang buka. Namun sayang sembilan ratus sembilan puluh sembilan sayang, tidak ada bengkel yang buka. Kami berkelana menyusuri jalan hingga akhirnya di depan parkiran Abu Bakar Ali, ada sebuah bangunan yang mencurigakan, masih abu-abu apakah itu bengkel atau tambal ban. Kami berhenti sejenak dan bertanya. Ternyata adalah tambal ban.
Di sini semuanya dimulai. Mas-mas dengan badan pendek agak gemuk keluar dan mempersilakan kami untuk istirahat sejenak di tempatnya. Kami berempat pun berdiskusi apakah gerangan yang terjadi pada motor saya, tetapi diskusi itu berakhir dengan hasil nihil. Akhirnya saya memutuskan untuk menelpon kakak saya di rumah untuk menjemput dan mendorong sampai rumah. Mas-mas yang ngebantu dorong tadi sebenarnya mau saja mengantarkan saya sampai rumah. Tetapi, setelah mengetahui rumahnya ada di Gejayan dan rumah saya di Bantul selatan serta dia membawa seorang gadis, saya menolaknya secara tersirat.
Selama hampir satu jam, kami berempat ngobrol dan mas-mas tambal ban ternyata orangnya sangat supel dan asyik diajak ngobrol. Tema yang kami bicarakan adalah soal begal dan pembacokan. Kurang serem apa coba, motor mogok malam-malam, ngomongin begal sama bacok. Rupanya mas-mas tambal ban itu pernah menjadi korban pembacokan. Rupanya lagi, mas-mas yang mendorong motor saya tadi menolong saya karena dulu dia juga pernah ditolong saat keadaan serupa.
Kejutan datang beberapa menit kemudian. Seorang pengendara dengan ban depan kempes mendatangi tambal ban yang sedang kami duduki. Setelah mas-mas tambal ban menyiapkan perkakas tambal ban, dia langsung duduk santai di jok motor belakang yang kempes itu. Dan...seorang wanita gemuk dengan tato di tangan keluar dengan wajah agak ngantuk. Dia langsung duduk dan dengan perkasanya mencongkel ban lalu menambalnya. Setelah selesai, wanita itu kembali masuk.
Karena penasaran, saya bertanya pada mas-mas tambal ban tentang wanita itu. Ternyata dia adalah istrinya. Sadar hendak bertanya tentang hal yang lebih dalam lagi, saya bertanya dengan suara yang agak pelan. ‘Mas, kok istri Mas serem ya. Tatoan.’ Masnya tersenyum manis. ‘Hehe, iya. Saya saja takut, Bro. Sebenarnya aku ini cuma jaga jajanan di toko ini. Lha yang nambal ban itu istri saya.’ Akhirnya percakapan kami terus berlanjut dengan tetap mempertahankan volume suara agar suasana malam yang hening tidak berubah menjadi malam yang bergejolak dan membara karena istri masnya mendengar.
Akhirnya, bala bantuan kakak saya datang. Hati saya lega. Terima kasih saya ucapkan kepada mas-mas tambal ban (yang lebih tepat saya sebut mas-mas suami ibu-ibu tambal ban) dan mas-mas dorong yang telah menemani saya. Di malam itu saya tersadar ternyata di era kriminalitas ini, masih ada malaikat-malaikat yang berkeliaran di jalan raya. Saya tersenyum tampan dengan motor yang didorong kakak saya.
Komentar
Posting Komentar